Senin, 29 April 2013

It's time for asset allocation!

Agama mengajarkan umatnya untuk tidak boleh menjelek-jelekkan orang lain. Hukum itu juga berlaku di pasar investasi. Kalau dalam hubungan social kita tidak boleh menjelek-jelekan orang lain, maka di hukum investasi kita tidak boleh menjelek-jelekan instrumen investasi lain. 

Sering kali para pemasar produk investasi menyarankan suatu produk investasi yang dianggap berkinerja baik dalam periode tertentu dengan menjelek-jelekan instrument lain. Contoh, pada kondisi krisis ekonomi dan financial seperti tahun 1997-1998 dan 2008, nilai tukar Rupiah jatuh drastis, bursa saham terkoreksi, harga-harga saham jatuh. Sentimen-sentimen negatif bermunculan bahwa investasi di forex itu money game, saham itu casino, hanya main-main uang saja, hanya ‘goreng-goreng’ harga, harganya sangat fluktuatif dan bukan investasi yang sebenarnya yang seharusnya memberikan manfaat pada investornya. Sebaiknya investasi lah di instrument rill seperti emas. Beli lah emas karena emas adalah komoditas yang selain memiliki nilai perdaganan, juga punya nilai intrinsik, dan trend harga emas selalu naik tiap tahun.  

Namun, belakangan ini masyarakat dan pecinta emas kaget dengan fenomena harga emas yang terus jatuh hingga dibawah $1400 per troy oz pada pertengahan April lalu. Salah satu penyebabnya adalah membaiknya data-data ekonomi di Amerika Serikat. Sehingga para investor beralih dari emas ke instrument investasi yang relative pro-growth yaitu equity (saham). Sifat investasi emas adalah safe-heaven. Sehingga Instrumen ini akan terus diminati ketika ekonomi sedang dalam kondisi yang buruk. Namun jika kondisi ekonomi menunjukkan tanda-tanda membaik maka investor akan mulai meninggalkan emas dan beralih ke saham. 

Dalam hal ini bukan berarti para analis dan pemasar dapat merekomendasikan moving asset ke equity dengan cara menjelek-jelekan instrument lain seperti emas atau obligasi, dsb. Karena cara tersebut tidak akan membawa investor pada keuntungan yang “optimal” pada jangka panjang. Karena sifat instrumen investasi selalu fluktuatif. Lihat saja bagaimana harga perumahan di AS jatuh tajam pada tahun 2008, padahal dari jaman dulu orang selalu beranggapan bahwa investasi tanah selalu untung.

Hal yang lebih penting dari underweight atau overweight ke suatu instrument adalah asset allocation. Seorang investor yang berkualitas dan baik harus dapat mengalokasikan asset nya ke berbagai instrument investasi untuk mengurangi resiko dan bersiap melakukan rebalancing jika terjadi hal-hal tak terduga.  
Sebaiknya investasi dibagi ke berbagai tempat baik di sector keuangan maupul sector rill. Contoh di sector rill yaitu investasi di tanah, bangunan, apartemen. Contoh di sector keuangan yaitu saham, obligasi, reksadana, forex. Atau investasi dengan membeli emas. Sehingga tercipta suatu ekosistem yang saling menunjang dalam “kantong investasi” yang kita miliki. Tentu hal ini sangat aplikatif untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi dan untuk mendapatkan return yang tinggi dalam jangka panjang. Serta tidak perlu repot untuk moving asset ditengah ketidakkepastian yang tentunya memakan biaya.

Lalu para pemasar produk investasi hendaknya tidak menjelek-jelekan produk lain karena sesungguhnya peran pemasar adalah untuk memberikan informasi dan kesempatan pada calon investor untuk mengalokasikan asset ke dalam instrument yang bervariatif dan mengedukasi masyarakat agar melek investasi.